(Habika Amani / Mahasiswa Uhamka)
Serambiupdate.com Pandemi
Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial telah menimbulkan rasa takut dan
kecemasan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebijakan pembatasan
sosial yang dilaksanakan di bidang pendidikan dengan adanya pemberlakuan sistem
pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau biasa dikenal sebagai belajar dari rumah
bagi seluruh siswa di Indonesia menimbulkan berbagai polemik bagi para siswa
dan orang tua siswa.
Sejak pemberlakuan pembatasan, beragam
aktivitas tersebut harus dilakukan di rumah bersama anggota keluarga dan orang
tua mereka. Dan pengalaman menyaksikan secara langsung dampak Covid-19 terhadap
orang tua atau anggota keluarga mereka (dampak fisik, ekonomi, dan psikologi),
adalah pengalaman yang sulit bagi anak-anak dan remaja. Tidak jarang, karena
kemampuan resonansi psikologis anak usia dini terhadap orang tuanya sangat
tinggi, tidak mengherankan jika mereka mampu merasakan kecemasan, kekhawatiran
atau stres yang dialami orang tua mereka secara langsung. Dengan demikian,
tidak jarang anak usia dini yang mengalami hal yang sama ketika terjadi masalah
mental pada orang tua mereka.
Melihat fenomena masalah kesehatan mental yang
terjadi pada anak dan remaja di Indonesia pada masa pandemi, diperlukan upaya
strategis dalam mengevaluasi sistem PJJ sekaligus memberikan dukungan kesehatan
mental bagi anak dan remaja. Penyediaan layanan dukungan sosial yang memberikan
fasilitas layanan kesehatan mental (mental health) bagi para siswa melalui
sekolah merupakan hal strategis yang perlu diperkuat pada era pandemi saat ini.
Dengan adanya penyediaan layanan ini baik online maupun offline, baik melalui
masyarakat maupun konseling sebaya, harapannya masyarakat dapat dengan mudah
mengakses dukungan sosial jika diperlukan. Pemberian layanan kesehatan mental bagi
anak dan remaja juga dapat diperkuat oleh sekolah. Sebagai pihak yang
bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran jarak jauh, pihak sekolah
selaiknya memperhatikan kondisi para siswanya tidak hanya pada kualitas
kemajuan pembelajarannya. Akan tetapi, hal yang lebih penting adalah memberikan
perhatian lebih atas keamanan, kondisi kesejahteraan mental anak, dan hal lain
terkait dengan tantangan yang dihadapi oleh anak dalam proses pembelajaran di
rumah.
Penyediaan layanan kesehatan mental bagi anak
dan remaja serupa telah diimplementasikan di berbagai negara dan berhasil
menurunkan berbagai permasalahan terkait yang dialami oleh anak dan remaja
akibat pandemi ini. Sebagai contoh, pemerintah China, Australia, ataupun Jepang
secara intensif menyediakan layanan konseling telepon (hotline), online, maupun
offline bagi masyarakatnya sebagai pertolongan pertama pada masalah kesehatan
mental di negara tersebut. Jadi, permasalahan kesehatan mental kelompok rentan,
khususnya anak dan remaja, dapat teratasi dengan baik sebelum menyebabkan efek
yang lebih serius.