Karya Kurnaedi
Mahasiswa FEB Uhamka
Corona Virus Disease 19
(Covid-19) barangkali menjadi krisis terbesar yang terjadi pada generasi kita.
Melansir dari laporan real-time Jhons Hopkins University & Medicine,
memasuki bulan April 2020 tercatat sudah 181 Negara yang terinfeksi virus yang
belum ada vaksinnya ini.
Banyak tindakan darurat
yang diterapkan oleh pemerintah di Indonesia berbagai Negara untuk memutus
rantai penyebaran corona, termasuk pemerintah Indonesia. Salah satu kebijakan
darurat yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengeluarkan
arahan untuk merubah sistem pembelajaran di semua instansi pendidikan. Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) dilakukan secara daring dari rumah sampai batas waktu
yang tidak ditentukan.
Kemajuan teknologi
internet disatu sisi telah memudahkan umat manusia untuk berinteraksi tanpa
harus bertatap muka secara langsung. Dalam hal pemakaian internet, menurut
riset platform manajemen media social HootSuite dan agensi marketing social We
Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020”, sebanyak 175,4 juta
atau hampir 64 persen penduduk Indonesia
sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Dalam situasi ini jelas
ada beberapa poin keuntungan atupun keurugian yang dihasilkan bagi sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia. Dalam system pendidikan sekarang,
berkembangnya ideologi pasar merupakan konsekuensi dari kebijakan sistem
pemerintahan Indonesia yang berpihak pada kapitalisime global. Pemaksaan
penerapan hukum Neoliberalisme pada dunia pendidikan, berdampak pada liberalisme
pendidikan.
Banyaknya yang
berekpektasi bahwa datannya virus Corona membawa berkah berupa terwujudnya
tatanan sosialisme di dunia. Optimisme ini terbangun karena melihat bahwa
ekonomi dunia sedang menghadapi keruntuhan. Corona membawa tekanan ekonomi yang
mengharuskan tatanan kapitalisme lama
untuk runtuh.
Era neoliberalisme yang
selama ini menjadikan pendidikan sebagai komoditi bisnis pun kabarnya sedang diambang
keruntuhan. Lihat saja, kebijakan pembatasan social (social distance) di Indonesia mengharuskan para pelajar hingga
mahasiswa untuk tidak datang ke sekolah. Mulai bermunculan nada-nada protes
untuk pengambilan SPP/UKT, penghapusan UN (pada akhirnya dikabulkan),
penghapusan Skripsi, dan sebagainnya. Selama ini, SPP/UKT, UN dan Skripsi
menjadi wujud nyata dari komersialisasi di sektor pendidikan.
Namun, ditengah wabah
virus Corona ini nyatanya praktik pendidikan di Indonesia tak juga menyenangkan.
KMB hanya sekedar dipindahkan dari yang sebelumnnya tatap muka di kelas nyat ,
sekarang bertatap muka via gawai di kelas maya dengan jumlah murid yang sama.
Tugas sekolah atau
perkuliahan yang sebelumnya diberikan di kelas dan dikumpulkan di meja guru,
sekarang dikumpulkan via email atau media sosial sang guru. Uang yang biasa
digunakan untuk ongkos transportasi ke sekolah, sekarang digunakan untuk membeli
kouta internet yang lebih besar agar mampu mengikuti pembelajaran daring tanpa ‘lemot’.
Namun banyak
keluhan-keluhan yang bermunculan. Para mahasiswa mengeluhkan UKT-nya sudah
terlanjur dibayarkan penuh tapi tidak dapat menggunakan fasilitas kampus sama
sekali selama 1 semester ini. Beberapa diantara mereka menuntut kampusnya untuk
merelokasi anggaran fasilitas kampus menjadi subsidi untuk membeli kouta
internet. Ada yang disetujui, ada yang ditolak mentah-mentah oleh rektor
kampusnya.
Kemudian, para guru dan
tenaga pendidikan honorer juga mengeluh karena gajinya tidak dibayarkan oleh
sekolah dengan alasan yang digaji hanya guru tetap yang memberikan pembelajaran
daring ke siswa tidak di gaji.
Belum lagi tidak
meratanya insfrastruktur seperti listrik, jaringan internet dan kepemilikan
gawai di kalangan masyarakat menjadi
penghalang untuk melakukan pembelajaran daring hingga ke pelosok negeri. Ketika
ini tidak diselesaikan dengan segera maka ketimpangan kualitas pendidikan akan
semakin tinggi dan liberalisasi di sektor pendidikan semakin ugal-ugalan.
Ketika Mendikbud
menerbitkan Surat Edaran tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari
Rumah untuk Mencegah Penyebaran Covid-19 kemarin saja, coba pikirkan bagaimana
ekpresi kebingungan yang tampak dari saudara-saudara kita di ujung papua sana?
Atau bagaimana dengan mereka yang berada
di pedalaman Sumatera dan Kalimantan, yang listrik pun jarang hidup apalagi
internet? Kenapa didalam Surat Edaran tersebut tidak menyinggung sedikitpun
tentang alternatif pembelajaran seperti apa yang dapat mereka lakukan di tengah
wabah itu?
Kondisi ini nyatanya
tidak menguntungkan kita sama sekali. Justru disamping keluhan-keluhan tersebut,
para borjuasi sedang berpesta karena pundi-pundi uangnya bertambah. Forbes
mencatat ada 178 orang yang kini menjadi miliarder akibat pandemi ini. Salah
satunya adalah Eric Yuan, pendiri aplikasi telekonfrensi Zoom Video
Communications.
Dalam 3 bulan terakhir
(Januari-Maret), kekayaan Eric bertambah USD 4 miliar atau di kisaran Rp 66
triliun. Adapun harta total diestimasi sudah mencapai USD 7,5 miliar berdasarkan
kepemilikan saham di Zoom.
Maklum, Zoom kini memang jadi aplikasi paling popular di tengah keterbatasan gerak orang-orang di luar rumah. Zoom jadi aplikasi andalan yang digunakan orang untuk bekerja di rumah, mengadakan kelas daring, hingga sekedar berinteraksi dengan kerabat di Negara-Negara yang melarang warganya keluar rumah guna mencegah penyebaran virus corona.