Karya Bagas Agus Setyawan
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHAMKA)
Disudut
ruangan dengan rangkaian buku yang berdebu Ayu masih saja meratapi kepergian
Ibunya, kini ia hanya tinggal sendiri bersama buku-bukunya yang setiap saat
memeluknya. Ayu masih saja belum bisa menerima alur kehidupannya,terkadang Ayu
mengutuk Tuhan dengan pena yang di tulisnya di selembar kertas sobekan
buku-bukunya
-----
“Ayu! Jangan lari kamu! Cepat kemari! Ayo belajar! Jangan main terus nanti kamu nilainya jelek!“ ujar Ibu yang selalu mengejarku ketika sore hari menjelang
“Tidak mau Ibu aku mau main saja, tidak mau belajar..” ujarku yang selalu bosan dengan suara Ibu yang hanya menyuruhku belajar.
Sore telah habis di lahap malam, giliranku masuk ke dalam rumah untuk membersihkan badan dan bersiap-siap untuk mengaji usai aku solat maghrib. Ibuku selalu menyuruhku untuk mengaji selepas solat magrib karena itu adalah pesan dari mendiang Ayahku yang sudah pergi lebih dahulu menghadap sang pencipta, karena ini adalah amanah dari Ayah, Ibu harus menjalankannya dengan penuh keikhlasan,dan akupun memahami keadaan Ibu.
Aku sudah hampir 2 tahun mengaji Al Quran, banyak surat-surat di dalam Al Quran sudah aku hafal dan bahkan aku sudah menghafalnya sampai 8 Juz, namun karena kesibukan sekolah membuatku menjadi lamban dalam menghafal Al Quran, dan bukan hanya itu saja alasanku lamban dalam menghafal Al Quran tapi aku sekarang-sekarang ini menjadi malas menghafal Al Quran di karenakan lelahnya membagi waktu.ya memang beginilah keadaanya semakin tumbuh dewasa semakin banyak kesibukan yang memang harus mengorbankan sesuatu hal yang lain.
Ibu selalu menyambutku ketika aku selesai pengajian, ibu sealalu mengusap dan mencium keningku dan menanyakan
“Bagaimana nak? Apakah kamu tadi membaca Al Quran nya dengan lancer dan baik? Ujar ibu dengan tangan hangatnya yang mengusap keningku
“Tentu bu, aku membacanya dengan lancer dan benar kata ustadzahku”
“Wah, Alhamdulillah kamu harus rajin membaca nak, tidakhanya Al Quran saja, buku lain pun mesti kamu baca, seperti membaca kisah-kisah Nabi, atau buku bacaan lain yang kamu sukak, supaya kamu nantinya bisa melihat dunia luar tanpa harus pergi dari rumah”
“Hah? Bagaimana bisa bu?”
“Pasti bisa.. kamu mesti mencoba membaca buku di rak buku peninggalan Ayahmu itu, dahulu Ayamu itu sangat gemar membaca lho..”
“Oh.. Baik bu aku akan mencoba memulai membaca”
Dialog singkat dengan penuh kehangatan keluarga yang terbentuk atas dasar kecintaan yang di miliki seorang Ibu kepada anak menutup jendela malam yang di sambut oleh matahari pagi.
Pagi tiba, saatnya aku pergi ke sekolah, aku berlari mencari Ibu di halaman untuk meminta izin berangkat ke sekolah.
“Ibu aku berangkat ya..”
“iya nak hati-hati ya..uhuk uhuk..” ujar ibu dengan wajah pucat di sertai batuk
“ibu kenapa?”
“ibu tidak apa-apa nak..”
“baiklah, aku berangkat ya bu..”
Aku beranjak dari rumah dengan hati yang agak kurang enak saat melihat wajah ibu yang pucat, sepanjang jalan hatiku tidak yakin kalau ibu baik-baik saja, jantungku terus berdebadaran. Aku tidak yakin ibu baik-baik saja..
Aku memutuskan untuk kembali pulang dan benar saja ibu sudah tergeletak di ruang tengah bersamaan dengan bendera kuning yang di tancapkan pada tiang rumah, kini ibu sudah pergi menyusul Ayah, tubuh ini serasa lumpuh dan aku seakan-akan berada pada mimpi dan kini aku terbangun dengan tumpukan-tumpukan buku yang menutup wajahku.