Karya Salsabila
(Mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP UHAMKA)
Tak terlihat, tak terjamah,
perjalanan yang tak mudah melewati tanah berlumpur dan bebatuan. Aku
menyebutnya “Surga dibalik Bebatuan”. Perkebunan dan sawah menemani
perjalananku yang begitu enak dipandang. Jarang sekali melihat itu diperkotaan.
Setiap ku bertanya pada warga,
mereka selalu bertanya “masih jauh neng tempatnya… masih 5 Km lagi”. Yapss
mereka tidak berbohong… butuh waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai ke daerah
tersebut… Tak mudah memang… tapi bukan berarti tak bisa.
Akhirnya pada sore hari pun aku
sampai di kampung tersebut. Namanya “Kampung Cirendeu” lebih tepatnya di
Kecamatan Sobang, Lebak, Banten. Aku disambut hangat oleh warga dan anak-anak
sambil melambaikan tangan… terlihat sekali tatapan antusias mereka.
Tak hanya mereka, Adapun Bapak Rudi
dan Ibu Uum yang sudah siap menerimaku dirumahnya selama 30 hari kedepan dalam
rangka pengabdian. Hari silih berganti, setiap harinya aku mempelajari banyak
hal.. mulai dari kebiasaaan mereka sampai ikut berpartisipasi di setiap
kegiatan adat disana.
Tugasku yang utama disana ialah
menjadi guru untuk anak kelas 3 dan 4, serta mengajar diniyah saat siang hari.
Mereka sangatlah bersemangat… setiap pagi selalu menungguku di depan rumah untuk
berangkat bersama ke sekolah. Namun, semangat saja tentu tidak cukup untuk
menunjang pendidikan. Perlu adanya dukungan lain agar anak-anak dapat menerima
ilmu dengan baik.
Mirisnya, tempat mereka menimba
ilmu itu sangatlah tidak layak disebut sebagai sebuah bangunan “sekolah”.
Bangunan yang hanya terdiri dari 2 ruangan serta ditutupi oleh anyaman bambu
saja, disitulah satu-satunya harapan mereka untuk menggapai mimpi.
Ditambah sumber daya yang kurang
memumpuni dikarenakan hanya ada 2 orang pengajar saja. Tentu hal ini tak mudah,
mengajar banyak siswa dengan kemampuan dan kecerdasan yang berbeda-beda.
Disana pun aku diajarkan bersyukur
oleh anak-anak… tanpa meminta lebih… mereka sangatlah sederhana. Tak hanya itu,
banyak yang berjuang agar sampai ke sekolah walaupun hujan-hujanan dengan jarak
yang sangat jauh. Terkadang mereka cerita tentang bekal makanan yang dibawa
sambil meraih tangan ku “Ibuu aku sekarang bawa goreng sangu sama endog”.
Mereka sangatlah sopan dan menghargai ku. Setiap jalan menyusuri hutan sekolah
mereka selalu menuntunku sambil berkata “Sini bu.. pegang tanganku biar gk
jatoh”
Ada satu lagi hal yang menarik dan
sangat inspiratif ketika aku berada disana, yaitu cerita asal mula pembangunan
sekolah tersebut oleh Bapak Sarya selaku ketua RT, iya berkata “Awal
pembangunan sekolah disini itu penuh perdebatan ka, banyak pihak yang tidak
mendukung, tapi saya sadar anak saya perlu ilmu, saya tidak mau anak saya tidak
sekolah. Biarkan saya saja yang seperti ini.”
Tak hanya itu, ternyata pembangunan
sekolah tersebut pure menggunakan uang warga “Saat itu bapak patungan dengan
seluruh warga.. setiap warga menyumbang sebesar 25 ribu rupiah saja, setelah
terkumpul barulah kita beli tanah dan juga anyaman bambu. Sekolah itu
benar-benar dibangun oleh warga ka. Setiap hari kita bergotong royong
membangunnya hingga selesai” MasyaAllah…
Begitu kagetnya aku saat mendengar
cerita itu… bersyukur sekali ternyata masih ada orang yang paham dan merasa
bahwa pendidikan memanglah sangat penting walaupun dengan keterbatasan kondisi
yang dimiliki.
Dengan berakhirnya cerita oleh
Bapak Sarya tersebut aku pun menjadi sadar, sebenarnya tak perlu menjadi
“siapa” dan memikirkan banyak atau dikitnya yang kita berikan untuk Pendidikan…
tapi niat dan kesadaran lah yang harus ditanamkan bahwa “Pendidikan itu yang
utama”.
Andaikan saja masyarakat di
Indonesia sadar dan berkenan untuk membantu anak-anak dipelosok tanah air…
mungkin saja saat ini mereka dapat dengan layak bersekolah seperti pada
umumnya… tidak harus banyak mengeluarkan uang untuk membantu… cukup dengan dua puluh
lima ribu saja… InsyaAllah kita sudah dapat membantu anak-anak pelosok
melangitkan mimpinya. 😊