Karya Muammar Khadafi
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UHAMKA)
Mungkin sudah banyak orang yang bahwa di masa pandemik Covid-19 seperti ini tingkat pembelajaran menurun disebabkan beberapa hal. Hal-hal yang tadinya dianggap suatu hal remeh sekarang menjadi hal paling fundamental yang menentukan keberhasilan dari pembelajaran itu sendiri. Semisal sinyal jaringan internet pada saat keadaan normal dianggap tidak terlalu penting dalam proses pembelajaran sebab antara guru dan murid dapat dengan mudah berkomunikasi secara langsung. Namun hal ini berbeda dengan pembelajaran daring, antara murid dan guru hanya bertemu secara maya melalui gadget masing-masing. Sudah banyak diberitakan di berbagai macam media massa perihal murid-murid yang tidak memiliki fasilitas internet yang memadai sehingga mereka terpaksa meminjam gadget dan wifi tetangganya. Memiriskan memang potret pendidikan di Indonesia. Jaringan internet yang tidak stabil sangat menentukan kegagalan dari suatu proses pendidikan di Indonesia di saat pandemik seperti ini. Penjelasan guru yang terputus-putus disebabkan jaringan ketika menjelaskan di aplikasi video conference semisal Google Meet, Zoom , atau sejenisnya menghasilkan minim sekali pemahaman yang diterima oleh sang murid. Belum lagi tingkat kemampuan setiap murid untuk mencerna suatu materi(kecerdasan) berbeda-beda, ada yang super cepat, standar, dan lola (loading lama). Penuh dengan tantangan sekali mengajar secara daring (dalam jaringan).
Metode Adidaya Oleh Sang Guru
Kemampuan masing-masing murid yang berbeda dalam mencerna membuat para guru melakukan metode-metode super adidaya dalam melaksanakan pembelajarannya. Para guru yang masih menggunakan metode-metode kenvensional dalam mengajar akan mengalami kegagalan dengan pasti ketika mereka tidak menyadari atau tidak mau menyadari tantangan yang mereka sedang hadapi di masa pandemik seperti ini. Metode hanya sekedar menjelaskan suatu materi, hanya sekedar bertanya apakah murid paham atau tidak, hanya sekedar memberikan PR (Pekerjaan Rumah), dan hanya sekedar lainnya.
Metode hanya sekedar yang diterapkan oleh para guru harus sesegera mungkin diganti dengan metode baru. Metode yang memiliki kemungkinan lebih besar keberhasilannya baik di kalam pandemik ataupun di kala normal. Metode ini jarang orang yang mengetahuinya, tapi orang[1]orang yang mengetahui dan menerapkannya adalah orang-orang yang sukses di dunia.
Metode ini adalah metode pendidikan berbasis kecerdasan hati. Hati jikalau kita telaah maknanya maka kita akan menemukan berbagai macam pengertian. KBBI mendefinisikan hati sebagai organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu; jantung; sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian; sifat (tabiat) batin manusia; dan apa yang terasa dalam batin. Dari beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa hati adalah suatu organ bisa itu jantung (dada) atau liver (rongga perut sebelah kanan) yang memiliki fungsi secara fisikal maupun spiritual.
Lalu sebenarnya organ manakah yang benar-benar kita gunakan untuk merasa, hati (jantung) ataukah hati (liver)? Berdasarkan penelitian-penelitian terbaru sebagaimana yang tertulis di buku Quantum of Ikhlas jantung memiliki 40 ribu sel neuron di dalamnya. Hal ini menandakan adanya “proses berpikir di dalam jantung”. Jantung sendiri memiliki kekuatan elegtromagnetik 5000 kali lebih kuat dari otak. Jadi jelas ketika seseorang berpikir tentang hal yang menyedihkan lalu dia merasa sedih sudah pastilah dia akan memegang dada sebelah kirinya sebab jantunglah organ yang melakukan aktivitas “merasa”.
Korelasi Pendidikan dengan Hati
Mungkin kita bertanya-tanya apa korelasi antara pendidikan dengan hati (jantung)? Kita sebagai imago dei (gambaran Tuhan) dalam pandangan kekristenan, insana fi ahsani takwim (ciptaan dalam bentuk sebaik-baiknya) memiliki potensi yang paling utama yaitu akal dan hatinya. Dua senjata itu yang menyebabkan manusia menjadi makhluk sebaik-baiknya. Namun fitrah manusia yang seharusnya menggunakan akal dan hatinya semakin tergerus dan hanya berfokus pada akalnya saja, tanpa adanya perhatian yang sama dengan hatinya. Kita hanya diindoktrinasi untuk bekerja keras dan bekerja cerdas yang memang itu adalah zona akal atau pikiran atau otak, tapi lupa bekerja syukur dan bahagia yang zonanya adalah hati atau jantung itu sendiri. Peristiwa berat sebelah yang hanya menggunakan kecerdasan otak dalam bekerja tanpa diimbangi kecerdasan hati pun terjadi dengan dunia pendidikan kita. Ketika para murid hanya diajarkan bagaimana mengerjakan suatu soal, bagaimana cara mendapatkan nilai bagus, bagaimana bersaing secara sehat, dan berbagai macam cara meraih kejayaan yang berdasarkan kecerdasan pikiran. Di sisi lain juga zona kecerdasan pikiran yang diajarkan secara konvensional cenderung dominan menggunakan otak kiri yang bersifat logis analitis, dan seolah lupa dengan otak kanan yang bersifat imajinatif non-verbal.
Tugas kita bersama untuk mengubah metode pendidikan yang sudah amat purba itu, sekaran adalah masa dimana pendidikan seharusnya berbasis kecerdasan otak dan hati atau pikiran dan perasaan. Kita harus bergerak bersama sebab semesta ini adalah semesta yang baik yang selalu ingin memberikan kebaikkan untuk semua orang. Namun sebelum kita memulai api perubahan pendidikan secara kolektif, hal yang pertama kita lakukan adalah memulainya pada diri sendiri.
Memulai dari Diri Sendiri
Kita semua paham bahwa segala sesuatu dimulai dari diri sendiri, setiap orang-orang sukses memegang prinsip ini. Untuk mengubah metode pendidikan kita yang konvensional itu kita harus mengubah paradigma kita terlebih dahulu tentang pendidikan. Kita harus membentuk paradigma bahwa natur kita adalah makhluk sebaik-baiknya yang memiliki berbagai macam anugerah dari Tuhan. Kenapa kita harus memasang paradigma ini? Sebab ketika paradigma kita bertentangan dengan prinsip “Manusia adalah makhluk sebaik-baiknya” maka kita akan hidup serba putus asa. Semesta dan seisinya akan mengiyakan apapun paradima yang kita tanamkan di jiwa kita, oleh sebab itu tanamlah bibit yang baik pada jiwa kita. Sebab semesta ini adalah semesta yang begitu baik yang menganugerahkan apapun yang anak-anaknya inginkan.
Pendidikan yang Selalu Ekspansif
Paradigma yang harus kita tanamkan selanjut adalah bahwa pendidikan itu bersifat ekspansif. Secara etimologi ekspansif adalah ajektiva yang bermakna cenderung meluas; terus terang; terbuka; bebas; dan tanpa ditutup-tutupi. Jikalau kita terapkan pengertian ini pada pendidikan maka seharusnya pendidikan itu adalah aktivitas belajar-mengajar secara terus-menerus tanpa mengenal waktu, tanpa mengenal umur, dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Paradigma bahwa “Pendidikan selalu Ekspansif” adalah paradigma yang selalu berhasil membongkar kejumudan dalam pendidikan kita ini. Ketika orang-orang yang putus sekolah formal menggunakan paradigma ini maka mereka akan bertindak mencari pendidikan yang sifatnya non-formal sebab mereka berkeyakinan bahwa pendidikan itu luas juga tidak hanya dibatasi oleh ruang-ruang sempit identitas formal, orang-orang yang sudah tua akan mau belajar kembali sebab mereka yakin bahwa pendidikan itu terbuka, boleh untuk siapapun tidak pandang umur, dan para ilmuan akan semakin berambisi untuk menemukan hal-hal baru sebab mereka meyakini bahwa masih ada semesta yang luas yang belum terungkap dengan pengetahuan yang ada.
Pikiran dan Perasaan Berkolaburasi
Lalu yang selanjutnya adalah pikiran dan perasaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sering kali kita lupa dan terlalu fokus kepada penggunaan pikiran dan itupun apa yang dimaksudkan pikiran oleh kebanyakan orang adalah kemampuan daya analisis otak kiri. Dan penggunaan otak kanan yang bersifat imajinatif itu amat jarang kita temui di sekolah-sekolah formal. Mulai saat ini biasakan untuk belajar menggunakan kedua belahan otak secara proporsional. Ketika kita mencoba menghafal kata-kata dalam bahasa Inggris maka kita juga harus sambil berimajinasi bahwa kita sedang menggunakan kata-kata itu dalam suatu dialog.
Atau ketika kita mencoba menghafal ayat-ayat Quran maka sembari kita menghafal kita sambil membayangkan posisi letak-letak ayat tersebut. Kekuatan imajinasi adalah kekuatan yang digunakan oleh seluruh orang sukses seperti Wright bersaudara, Thomas Alfa Edison, Albert Einstein, dan orang-orang sukses lainnya. Bahkan ada satu quotes terkenal dari Einstein yang berbunyi “Imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan terbatas. Imajinasi mampu mengelilingi dunia.” Lalu bagaimana cara menggunakan kekuatan perasaan atau kecerdasan hati untuk pendidikan? Pasti kita sudah sering mendengar kata positive thinking nah prinsipnya kurang lebih mirip dengan cara berpikir positif. Ketika kita mencoba belajar suatu hal sebisa mungkin kita merasa bahagia, tersenyum, dan merasakan perasaan-perasaan syukur. Lalu bagaimanakah kalau kita tidak bisa merasakan perasaan-perasaan itu ketik sedang belajar? Tentu kita bisa merasa seolah-olah kita bahagia ketika sedang belajar, saat kita melakukannya maka kita perlahan namun pasti saraf-saraf neouron kita baik di otak maupun jantung akan segera membentuk saraf-saraf kebahagian dalam belajar. Di level quantum segala sesuatu adalah energi, maka keberhasilan dalam melakukan proses pendidikan adalah energi. Ketika kita berpikir dan merasa senang saat melakukan proses pendidikan maka tingkat keberhasilan dari pada proses pendidikan itu sangat tinggi sebab pikiran dan perasaan senang saat terjadinya proses pendidikan adalah energi yang sangat kuat di level quantum. Kecerdasan hati juga mendorong para guru untuk memandang murid-muridnya sebagai makhluk yang merdeka. Guru juga mencoba mengerti dan mengajarkan para murid melalui perspektif sang murid yang dimana dengan begitu akan ditemukannya secara pasti keselarasan antara murid dengan sang guru di dalam proses pendidikan ini, lebih-lebih ketika pembelajaran daring. Lalu selain itu juga ketika kita mendidik menggunakan kecerdasan hati (baca: jantung), kita tidak lagi terpaku dengan persaingan. Kita terpaku untuk saling bekerjasama dengan orientasi ilahiah atau dalam istilah kejawennya adalah manunggaling kawulo gusti ( baca: bersatu dengan Tuhan).