Karya Anisya Fitrah Amalia
(Mahasiswa Pendidikan Agama Islam FKIP UHAMKA)
“Dek Zahra, suaminya kemana?” tanya Bu
Ratih kala sedang memilah-milih sayur bayam yang paling bagus di gerobak yang
dibawa Mang Asep, tukang sayur keliling.
Zahra tersenyum. “Ke luar kota, Bu,”
timpalnya.
“Aduh, suami zaman sekarang aneh, ya? Baru
nikah, istrinya udah ditinggal-tinggal,” celetuk Bu Muji.
“Ngerinye pulang-pulang bawa bini lagi ye,
Bu?!” tambah Bu Eti. “Zahra, kalau boleh tau suaminya lulusan apaan?” lanjutnya.
“Jadi TKI ya? Apa malah jadi bos di
perusahaan?” Bu Muji menambahkan pertanyaan.
“Astaghfirullah. Ck.. ck.. Kepo bener ya
ibu-ibu ini,” ucap Mang Asep menggeleng-gelengkan kepala.
“Suami saya lulusan SMA,” tutur Zahra
lembut.
“Lulusan SMA jadi bos kagak mungkin, Bu,”
timpal bu Eti berbisik di telinga Bu Muji.
“Kok Zahra mau sih, sama yang kagak setara
pendidikannya?” ucap Bu Eti. “Apalagi perempuannya malah yang lebih tinggi. Ih,
gue sih malu kalau jadi mertuanya,” lanjutnya.
“Zahra kenapa nggak kerja? Masa sarjana
ujungnya di rumah,” celetuk bu Muji disusul dengan tawa oleh Bu Ratih dan Bu
Eti.
Tak lain Zahra hanya dapat membalas
celotehan tak bermutu itu dengan senyuman lebar. Ia bergegas pamit kepada
ibu-ibu yang berkumpul.
Percakapan pagi tadi, membuat Zahra agak
gusar. Pasalnya, ia baru kali pertama menyaksikan secara terang-terangan, bahwa
dirinya menjadi buah bibir. Namun, Zahra menahan amarahnya dan menutup
rapat-rapat mulutnya agar tak menceritakan kepada suami yang baru saja
menikahinya tiga hari lalu.
“Mas pulang hari apa?” tanya Zahra pada
suami, saat bertegur-sapa lewat video
call.
“Mas sebulan di sini. Udah kangen, ya?” ledek sang suami membuat Zahra menyunggingkan senyum tipis. “Sabar ya, nggak berasa kok,” lanjutnya berusaha menenangkan.
***
Hari demi hari, Zahra terus mendapat
intimidasi oleh para tetangganya yang seakan merasa jadi bagian paling penting
di kehidupan rumah tangganya. Selama dua puluh dua tahun dirinya tinggal
bersama orangtua, yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya bersama
suami sekarang, baru mengetahui karakter tetangganya setelah menikah.
“Apa ini jadi salah satu alasan ibu lebih
pilih membeli bahan masakan di supermarket?” pikir Zahra.
Hingga pada suatu hari, tepatnya pada saat
sang suami menemuinya, Zahra menumpahkan segala tangis di dada bidang lelaki
yang dirindukannya itu.
“Mas, aku capek dengerin omongan tetangga
tentang kamu dan aku,” ucap Zahra terisak-isak.
“Kenapa?” sang suami dengan sigap mengusap
punggung Zahra lembut.
“Mereka bilang mas nggak mungkin jadi
seorang bos, tanpa gelar apapun. Aku, emangnya aku salah kalau seorang sarjana
mau mengabdikan diri buat suami? Hiks.. Hiks..” jawab Zahra masih tersedu-sedu,
dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.
“Astaghfirullah,” ucap sang suami yang
hatinya teriris melihat sosok yang dicintai menangis.
Semenjak suaminya pulang kala itu, Zahra
diajak berbelanja ke supermarket terdekat. Untuk menjaga hati Zahra dan
mentalnya agar pulih. Namun, ucapan tetangga yang tidak mengenakkan masih saja
terdengar sekelebat di telinga suami Zahra. Tak ada yang dilakukannya kecuali
diam dan menutup telinga.
Di bulan berikutnya, suami Zahra
memutuskan untuk membeli sebuah mobil. Alasannya, karena Zahra tengah berbadan
dua. Jadi, suami harus siap siaga menemani kemanapun istrinya pergi. Apalagi,
jika sudah hamil besar nanti.
“Zahra, kapan-kapan ajak kite dong ke
restoran suami lu,” tutur bu Eti sedikit berbisik di telinga Zahra, saat sedang
ada acara kumpul warga.
“Boleh, Bu,” ujar Zahra ceria.
“Mas Zafa, Zahra, gue sama ibu-ibu yang
lain minta maaf, ye? Soalnya kite kagak tau suami lu bos, pengusaha restoran.
Trus lu di rumah kerja juga, jadi penulis, jualan online,” ucap bu Eti pada Zahra dan suaminya dengan wajah sendu.
Zahra dan suaminya akhirnya tersenyum lega, karena para tetangganya itu mengakui kesalahannya dan berbesar hati ingin meminta maaf pada mereka