
Karya Salsa Bila Eka Putri
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHAMKA)
Adzan subuh terdengar samar-samar ditelinga ibu Nini. Ibu Nini langsung bergegas
bangun dan merapikan tempat tidurnya. Sesekali ia melirik
jam yang sudah menunjukkan
pukul 04.15 WIB. Dengan cepat, ibu Nini langsung bergegas ke
pintu kamar di ruang tengah,
membangunkan anak semata wayangnya Hamdan.
Hamdan adalah anak semata wayang Ibu Nini dan Pak Hamid. Ibu Nini, harus
merawat Hamdan seorang diri, karena Pak Ahmad kerja merantau
dan jarang sekali
mengirimkan uang. Covid-19, yang terjadi saat ini membuat
penghasilan Pak Hamid menipis.
Hal itu membuat Ibu Nini harus berjualan nasi pecel, untuk
mencukupi kebutuhan mereka
berdua.
“Klek” suara cetekan kompor terdengar dari dapur. Ibu Nini sedang menyiapkan
dagangan nasi pecel pagi ini. “Hamdan!” panggil ibu Nini
kepada Hamdan. Kala itu, Hamdan
sedang bermain ponsel di kamarnya. “Sebentar bu!” Hamdan
berteriak menanggapi
panggilan ibunya. Ibu Nini menghela nafas berat, karena
Hamdan tak mau membantu. Tetapi
Hamdan tetap anak laki-lakinya, jadi ia harus menyayangi dan
memenuhi kebutuhannya.
Penghasilan jualan nasi yang tidak menentu, terkadang
membuat Ibu Nini harus bekerja juga
di sawah untuk penghasilan tambahan. Saat Covid-19,
sekolah-sekolah di desa ditutup.
Sebagai gantinya sekolah dipindah melalui daring. Ingat
sekali, ketika Hamdan datang
menghampirinya sembari cemberut karena dia tidak memiliki ponsel pintar untuk sekolah.
“Hamdan minta Handphone, buat sekolah. Malu, masa pinjam tetangga terus.”
Hamdan menatap ibunya sambil memasang wajah yang sedikit
kesal. Ibu Nini hanya terdiam
sembari menatap anaknya. “Ibu! Lihat teman-temanku, mereka
sekolah pakai Handphone.
Kalau aku tidak punya, gimana aku bisa belajar.” Hamdan menghela nafasnya kasar.
“Iya. Ibu belikan. Hamdan sabar ya. Tunggu kiriman dari ayah dulu.” Ibu Nini
menggenggam tangan Hamdan sambil mengangguk yakin. Hamdan
melirik ibunya sekilas,
lalu berdiri, “Mana ada ayah kirim uang? Ibu! Buat makan saja
susah. Apalagi beli
Handphone. Kalau Hamdan tidak terdesak seperti ini, Hamdan
tidak mau menyusahkan Ibu
sama ayah.” Ibu Nini lantas berdiri dihadapan Hamdan,
“Tenang Hamdan, ayah sudah kirim
uang buat beli Handphone Hamdan. Jadi, Hamdan tidak perlu
pinjam tetangga lagi.” Ibu Nini
tersenyum sambil mengusap rambut anak laki-lakinya yang
sudah bertumbuh remaja.
Hamdan langsung menatap wajah ibunya dan tersenyum senang.
Lagi-lagi Ibu Nini harus menjual gelang emas miliknya, untuk membelikan Hanphone
Hamdan. Setelah dibelikan Handphone, Hamdan cenderung sulit
sekali untuk disuruh
membantu Ibu Nini. Bahkan, tugas sekolahpun tak Hamdan
kerjakan. Padahal, ia memegang
Handphone seharian.
“Hamdan! Kok buku tulis kamu kosong semuanya?” tanya Ibu Nini sembari
membuka buku tugas Hamdan. Hamdan masih fokus pada layar
Handphone miliknya.
“Victory!!” teriak Hamdan sambil berdiri lalu melompat
kegirangan, karena ia menang dalam permainan. Ibu Nini, terus memperhatikan
Hamdan. Setiap hari kerjaannya hanya bermain
ponsel, dan meminta uang untuk membeli paket data internet.
“Kok kamu minta uang terus Hamdan? Buku tulismu kosong, LKS juga kosong.
Kamu ini setiap hari main handphone, sekolah apa tidak?”
tanya Ibu Nini pada Hamdan yang
memasang wajah kesal. “Ibu ini nuduh aku yang tidak-tidak?
Untuk apa buku tulis dan LKS
kalau semua bisa diakses lewat handphone? Zaman sudah
canggih bu. Sekarang berikan aku
uang, untuk beli paket data! Karena aku butuh untuk
mengunduh soal di internet.” Jelas
Hamdan pada ibunya. Ibu Nini yang merasa bersalah, karena
menuduh anaknya pun langsung
meminta maaf dan memberika uang untuk membeli paket data.
Suatu hari, ketika sedang membereskan dagangan nasinya di siang hari, datang
seorang perempuan yang cantik dan berpakaian dinas ke rumah
Ibu Nini. Ternyata
perempuan itu adalah Ibu Rosa, wali kelas Hamdan. Ibu Rosa
menjelaskan, bahwa Hamdan
tidak pernah mengumpulkan tugas sekolah. Ibu Nini langsung kaget
mendengar penjelasan
Ibu Rosa. Selama ini, yang Ibu Nini tahu adalah Hamdan
bermain handphone dan
mengerjakan tugasnya. Ibu Rosa, menyuruh ibu Nini untuk
terus mendampingi Hamdan
dalam belajar. bisa saja anak bermain handphone, tetapi
tidak mengerjakan tugas dan malah
bermain permainan lain. Peran orang tua sangatlah ekstra
dalam pembelajaran daring seperti
ini.
Sore harinya, Ibu Nini sedang membereskan ruang tamu. Hamdan sedang duduk di
sofa sambil bermain handphone. “Ternyata selama ini kamu tidak
pernah mengerjakan tugas
Hamdan?!” tanya Ibu Nini yang berdiri di hadapan Hamdan. Ibu
Nini langsung merampas
handphone tersebut dan suasana menjadi panas. Hamdan
langsung berdiri dan ingin meraih
handphone. “Ibu tahu darimana? Hamdan mengerjakan. Buktinya
Hamdan online terus!”
Hamdan berbicara dengan nada tinggi sambil menatap ibunya.
Ibu Nini menangis keras,
sambil bersimpuh dihadapan Hamdan dan menjelaskan apa yang Ibu Rosa katakan tadi siang.
“Ibu sudah berjuang untuk memfasilitasi kamu. Ibu mati-matian mencari uang untuk
biaya sekolah kamu. Ayah kamu juga bekerja sampai merantau.
Tetapi, ibu yang merawatmu
disini Hamdan. Kamu sudah membohongi Ibu! Kamu bilang, kamu
mengerjakan tugas. Kata
Ibu Rosa, kamu masuk daftar anak-anak yang tidak
mengumpulkan tugas.” Ibu Nini
berbicara dengan nada lirih sambil menangis. Hamdan yang
merasa bersalah karena
perkataan ibunya langsung memeluk ibu Nini.
“Ibu minta maaf. Ibu yang salah, karena ibu tidak memperhatikan kamu dan malah
mencari uang terus.” Hamdan menggelengkan kepalanya. “Hamdan
yang salah, karena
terlalu egois untuk kesenangan Hamdan. Harusnya Hamdan
paham, bahwa Hamdan adalah
cita-cita ibu bapak. Maafkan Hamdan yang terlalu egois ya
bu. Hamdan terlalu terlena, pada
zaman modern ini. Sehingga, Hamdan lupa pada kewajiban
Hamdan. Hamdan menyesal bu.
Hamdan berterima kasih pada Ayah dan Ibu, karena sudah
berusaha memfasilitasi Hamdan.
Hamdan yang minta maaf, karena tidak bisa menjaga amanah ibu
dan ayah, menjalani
kewajiban Hamdan.” Hamdan bersimpuh sembari menangis
mengingat kelakuannya. Ia lalu
mencium telapak kaki ibunya, “Maafkan Hamdan ibu.” ucap
Hamdan dalam hatinya.