Serambiupdate.com Kasus pelecehan seksual seakan tidak mengenal tempat, bahkan lingkungan kampus sekalipun. Untuk menyikapi kasus yang masih belum mendapat penanganan serius itu, pakar Universias Airlangga (Unair) membagikan beberapa upaya penanganannya.
Pakar Antropologi Ragawi, Gender, dan Seksualitas Universitas Airlangga Myrtati Dyah Artaria mengimbau agar tiap institusi kampus memiliki kebijakan yang jelas dalam mencegah dan menanggulangi masalah pelecehan seksual.
Selain itu, pendampingan bagi pelapor tindakan pelecehan seksual merupakan salah satu hal yang paling utama untuk dilakukan. Sebab, hal ini dapat membantu penyintas dalam mengurangi tekanan mental yang diterimanya.
"Pelaporan tindakan pelecehan seksual harus segera dibarengi dengan penyidikan, konseling psikologis, dan pendampingan untuk mengatasi stres pada penyintas," ujar guru besar bidang Antropologi itu seperti dikutip dari laman resmi Unair, Minggu (11/7/2021).
Perlindungan untuk penyintas juga termasuk dalam prioritas bersama dalam menangani kasus pelecehan seksual. Menurut Myrtati, penyintas memiliki potensi untuk menjadi penyintas kedua kalinya oleh oknum-oknum di sekitarnya.
"Penyintas berpotensi kembali menjadi korban, entah dari pelaku yang ingin balas dendam atau oknum-oknum lain yang ada di lingkungannya," papar dia.
Oleh karena itu, Myrtati berharap agar institusi pendidikan mampu berkomitmen pada kebijakan dan tindakan pencegahan pelecehan seksual. Bahkan hingga pada aspek perlindungan penyintas.
Dia juga menyinggung banyak institusi yang justru lebih memilih untuk melindungi nama baik dan reputasi kampus. Hal tersebut justru akan menambah dampak buruk yang akan diterima oleh penyintas. Bahkan tidak sedikit berujung pada tekanan bagi penyintas untuk keluar dari institusi.
"Akibatnya, sering terjadi kasus tekanan untuk keluar dari institusi, pemutusan beasiswa, nilai yang buruk, terror, hingga perlakuan yang buruk secara sistemik yang menimpa penyintas," ujar Myrtati.
"Penyintas harus segera mendapat konseling dan pendampingan. Lakukan terapi stress-management, cognitive-behavioral, serta memberikan dukungan dari keluarga maupun para sahabatnya."
Lebih lanjut, Myrtati menjelaskan persepsi salah terhadap korban pelecehan sekual justru akan semakin mendorong potensi terjadinya kasus tersebut. Misalnya, ada beberapa orang yang tidak sadar hal itu tindakan pelecehan dan menganggapnya sebagai pujian. "Atau menganggap normal seseorang yang menikmati keindahan tubuh orang lain di jalan sambil mengeluarkan ujaran bernuasa sensual," jelasnya.
Persepsi lainnya seperti pakaian seseorang yang disebut mengundang pelaku atau perilaku yang membuatnya layak mengalami pelecehan. "Padahal siapapun dan bagaimanapun mereka, perempuan atau lelaki, tidak layak untuk mengalami hal demikian," tutur Myrtati.
Sebagai penutup, pengajar di FISIP Unair itu menjelaskan 13 tipe pelecehan yang harus diketahui agar dapat kita hindari.
"Tipe-tipe pelecehan tersebut di antaranya adalah, oportunis, confidante, pemain-kekuasaan, berperan sebagai figure ibu/ ayah, geng, pelecahan di tempat tertutup, groper, pelecehan situasional, pest, the great gallant, intellectual seducer, incompetent, serta sexualized environment," ujarnya. (AL)