Serambiupdate.com Muhammad Nur Rizal, Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menyampaikan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) dapat mempengaruhi emosi siswa.
“Hasil penelitian yang kami
lakukan pada 1.263 siswa mulai jenjang SD hingga SMA, menunjukkan bahwa 57
persen siswa SD dan SMP merasakan emosi negatif dan 70 persen siswa SMA yang
merasakan emosi negatif,” tutur Rizal.
Emosi-emosi yang bersifat negatif
tersebut bermula dari banyak hal seperti dari bosan, sedih, kurang memahami
materi, stres, bingung, merasa kurang bersemangat, merasa terbebani, kurang
puas, hingga merasa kesulitan dalam belajar.
Rizal menerangkan, “Semakin tinggi
jenjang pendidikan, gap antara emosi positif dan negatif semakin lebar. Ini
menunjukkan bahwa ada proses belajar, strategi belajar atau kurikulum yang
ternyata mungkin tidak tepat atau tidak dibutuhkan siswa dan tidak sesuai
dengan perkembangan mental siswa itu sendiri.”
Dengan demikian, lanjut dia,
terjadi proses belajar yang seragam baik itu jenjang SD hingga SMA. Saat gap
emosi negatif semakin lebar di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ternyata
tugas yang selama ini disampaikan guru tidak bisa meningkatkan kompetensi
belajar siswa.
“Justru tugas-tugas tersebut
menjadi beban. Juga ada kesulitan belajar yang dirasakan anak SD hingga SMA ,
artinya mereka merasa tidak produktif atau berkurang motivasi selama proses
belajar,”imbuhnya.
Rizal juga menjelaskan kondisi
itu akan memberikan dampak pada penurunan kecerdasan dalam membangun peradaban
yang semakin berdampak ke learning loss.
“Kesulitan belajar juga menempati
posisi tertinggi, ditambah dengan jaringan dan kurangnya motivasi, yang
berpotensi terhadap terjadi kehilangan kesempatan belajar ganda,” terang dia.
Hingga saat ini, dia belum
melihat ada fokus pemerintah untuk menangani masalah kesulitan belajar dan
demotivasi sebagai permasalahan mendasar di pendidikan sejak sebelum pandemi.
Selama ini terlalu berfokus pada penyelesaian masalah jaringan.
Selain itu, semakin dewasa
jenjang pendidikan siswa maka semakin merasa tidak berguna proses belajar PJJ
karena merasa tidak produktif dan tidak mendapat keterampilan dan pengetahuan
baru.
Rizal menyarankan agar pemerintah
dapat menyusun kurikulum darurat yang mendorong interaksi anak dengan
lingkungan sosial sekaligus mengatasi persoalan nyata di kehidupan sehari-hari.
Kurikulum darurat tidak cukup hanya mengurangi materi kurikulum kompetensi
esensial saja, karena tetap tidak mengubah orientasi dan suasana kebatinan
siswa. Kurikulum tersebut terkoneksi dengan keluarga dan kehidupan sosial untuk
meningkatkan karakter dan nilai-nilai siswa.
“Dukungan orang tua berupa
dukungan emosional, sangat dibutuhkan. Peran keluarga sangat kuat untuk
membantu proses belajar siswa agar lebih positif dan termotivasi,” imbuh dia.
(TS)