Rizky Septia Putri
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat FIKES Uhamka
Semua orang tentu ingin sehat. Jika
terpaksa sakit, mereka pasti ingin lekas diobati agar sembuh kembali. Tak
peduli miskin atau kaya, muda maupun tua, laki-laki atau perempuan, apapun ras,
suku, dan agamanya.
Oleh karena itu, penting untuk
memastikan tersedianya akses layanan kesehatan bagi semua orang tanpa
membedakan latar belakang sosial-ekonominya.
Hari Kesehatan Dunia yang jatuh pada
7 April lalu menjadi momen bersama untuk berefleksi tentang upaya Indonesia
mewujudkan akses kesehatan bagi semua. Dengan tema Kesehatan untuk Semua di
Mana Saja, peringatan tahun ini ditujukan untuk mendorong pencapaian Cakupan
Kesehatan Universal (Universal Healthcare Coverage/UHC) sesuai mandat Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, khususnya Tujuan 3 tentang kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendefinisikan UHC sebagai kondisi di mana semua orang dan masyarakat menerima
pelayanan kesehatan yang mereka perlukan tanpa mengalami kesulitan finansial.
Dengan UHC, setiap orang dimungkinkan
untuk mengakses layanan yang dapat mengatasi penyebab utama penyakit dan
kematian, dan memastikan bahwa kualitas layanannya cukup baik untuk
meningkatkan kesehatan orang-orang yang menerimanya.
Aspek penting yang perlu digarisbawahi
adalah ‘tanpa mengalami kesulitan finansial.’ Artinya, akses kesehatan yang
diperoleh masyarakat harus tidak memberatkan secara finansial, sehingga mereka
terhindar dari ancaman menjadi miskin gara-gara berobat. Namun hal ini bukan
berarti bahwa seluruh layanan kesehatan harus bebas biaya tanpa peduli
berapapun ongkosnya mengingat tidak ada negara yang sanggup menyediakan layanan
semacam itu secara berkelanjutan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan sehat sebagai ‘baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas
dari sakit)’. Adapun UU No. 36/2009 tentang Kesehatan mendefinisikan arti
kesehatan secara lebih luas, yaitu ‘keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis
Tampak bahwa undang-undang mengaitkan
secara erat kesehatan dengan produktivitas sosial dan ekonomi seseorang.
Kesehatan adalah hak setiap orang.
Deklarasi HAM PBB antara lain
menyebutkan bahwa ‘setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan,
pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang
diperlukan’.
Hal ini juga diakui dalam konstitusi
Indonesia yang menyebutkan bahwa ‘setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’ (pasal 28H ayat 1).
Dalam konteks ini, kewajiban
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan berada di pundak negara, sebagaimana
ditegaskan dalam UUD 45 pasal 34 ayat 3.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah
tidak bisa bekerja sendirian. Diperlukan peran serta swasta dalam upaya
memberikan akses layanan kesehatan bagi semua. Sebagai gambaran, data Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) 2018 menyebutkan bahwa jumlah rumah sakit
swasta adalah 1.016 dengan tingkat pertumbuhan 7% per tahun. Adapun rumah sakit
pemerintah berjumlah 1.804 dengan tingkat pertumbuhan 3% per tahun.
Angka-angka tersebut mengindikasikan
peran penting sektor swasta dalam dunia kesehatan di Tanah Air. Upaya paling
nyata dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan akses kesehatan bagi semua
adalah penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah diperkenalkan
sejak 2014. Dengan target cakupan sekitar 260 juta orang dan layanan yang
komprehensif, JKN merupakan salah satu skema UHC terbesar dan paling ambisius
di dunia.
Untuk sebuah proyek dengan skala
sebesar itu, wajar jika dalam penerapannya dijumpai banyak kendala dan
tantangan. Hal yang paling mencolok adalah persoalan pembiayaan. Besarnya biaya
yang harus ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
membuat lembaga ini mengalami defisit yang kian membengkak tiap tahunnya.
Persoalan defisit anggaran ini tentu
saja harus dicari solusinya agar JKN dapat berkelanjutan. Misalnya melalui
upaya peningkatan kepatuhan pembayaran premi dan penaikan besaran premi dengan
mempertimbangkan kemampuan finansial peserta. Meski demikian, perlu digarisbawahi
bahwa apapun yang terjadi JKN harus tetap berlanjut.
Studi menunjukkan bahwa manfaat
jangka panjang UHC melebihi biaya yang harus dikeluarkan. Di Jamaika misalnya,
sebagaimana ditulis Alison P. Galvani et.al (2017), penerapan UHC telah
mengurangi 34% jumlah hari sakit secara nasional dan meningkatkan produktivitas
yang pada akhirnya lebih dari cukup untuk menutupi biaya yang dikeluarkan.
Di California, Amerika Serikat,
penerapan UHC diproyeksikan dapat mengurangi pengeluaran untuk kesehatan
sebesar US$37,5 juta atau sekitar 10% (Galvani, 2017).
Manfaat ekonomis UHC dapat dijelaskan
secara logis. Dengan adanya jaminan asuransi kesehatan, masyarakat tidak merasa
harus menabung uangnya untuk mengantisipasi sakit di masa depan, sehingga uang
tersebut dapat diputar dan menggerakkan ekonomi. Selain itu, ongkos yang
dikeluarkan pun makin berkurang, karena kondisi kesehatan masyarakat secara
umum membaik.
Pengalaman di Thailand, sebagaimana
dilaporkan WHO, menunjukkan bahwa setelah diterapkan UHC terjadi penurunan
pengeluaran untuk penyakit katastrofik dari 6,8% menjadi 2,8% dalam 12 tahun.
Pengalaman negara-negara tersebut
memberi pelajaran kepada kita bahwa berbagai persoalan yang dihadapi BPJS saat
ini bersifat sementara. Dengan penanganan yang tepat dan seiring makin mapannya
sistem yang berjalan, persoalan tersebut akan teratasi sehingga manfaat UHC
beserta multiplier effect-nya akan kian terasa pula.
Ibarat pengobatan, persoalan tersebut
adalah rasa pahit yang menyergap lidah ketika dan sesaat setelah minum jamu.
Rasa pahit itu nantinya akan hilang, sehingga yang tersisa adalah rasa bugar
sebagai efek dari jamu tadi.
Terlepas dari arti penting peran UHC,
harus diingat lagi bahwa pengobatan paling murah adalah pencegahan. Karenanya,
menggalakkan pola hidup sehat adalah elemen penting dalam meningkatkan
kesehatan masyarakat. Upaya menangani isu kesehatan di hilir (mengobati orang
sakit) harus dibarengi dengan upaya menangani hulunya (mencegah orang agar
tidak sakit).
Upaya pemerintah melalui Gerakan Masyarakat
Hidup Sehat (Germas) perlu terus ditingkatkan agar gaungnya makin cetar. Hal
ini kian penting mengingat secara global maupun nasional, prevalensi penyakit
tidak menular terus meningkat.
Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan misalnya, menunjukkan
bahwa prevalensi kanker naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%, stroke
naik dari 7% menjadi 10,9%, dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi
3,8%.
Penyakit-penyakit tersebut kebanyakan
dipengaruhi oleh pola hidup yang tidak sehat. Karenanya, penanaman pola hidup
sehat sejak dini agar menjadi bagian integral dari pertumbuhan tubuh dan
kesadaran anak amat penting dilakukan.