Oleh : Taufik Hidayatullah
Mahasiswa FEB Uhamka
Perkembangan
perekonomian, terutama dalam perdagangan dan kemajuan industri yang kian hari
kian meningkat telah memberikan dorongan yang luar biasa kepada konsumen dalam
berkonsumsi karena ada beragam variasi barang dan jasa yang biasa dikonsumsi.
Begitu pula globalisasi dan maraknya transaksi online yang didukung oleh
teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang sangat
bebas dalam setiap transaksi perdagangan. Kondisi ini dilain pihak membuat
masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan,, dan masalah ini
kadang diabaikan oleh pelaku usaha.
Tren
pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia mengalami perubahan drastis sejak
dikenalnya revolusi industri 4.0. Saat ini Indonesia memiliki sekitar 93,4 juta
pengguna internet dan sekitar 71 juta pengguna telepon pintar yang menjadikan
internet dan transaksi dalam jaringan/daring (online), sebagai bagian dari gaya
hidup yang tercermin melalui perilaku dalam berbelanja. Masalah utama konsumen
di era digital, seperti proteksi identitas privasi dan aset konsumen, peraturan
transaksi perdagangan online termasuk pengaduan keluhan, dan bagaimana
membangun kepercayaan serta fairness dalam penanganan dispute dan
penyelesaiannya.
Dilihat dari
tingkat Indeks keberdayaan konsumen (IKK) Indonesia, Indonesia pada level
30,86. Artinya, konsumen Indonesia baru pada level paham, ini bermakna bahwa
konsumen sudah mengenali dan memahami hak dan kewajibannya namun belum
sepenuhnya mampu menggunakannya untuk menentukan pilihan konsumsi dan belum
mampu memperjuangkan haknya sebagai konsumen. Hal yang perlu disadari oleh
konsumen adalah mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh undang-undang
perlindungan konsumen sehingga dapat melakukan sasial kontrol terhadap
perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah.
Permasalahan
yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi
jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik
pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya
perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa pengusaha harus menghargai
hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan
atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai.
Pemerintah pun
menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala
sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke
konsumen. Selain itu, pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya
peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik. Pemerintah perlu segera
merespon tuntutan atas kondisi perlindungan konsumen yang semakin kompleks
tersebut melalui regulasi yang memadai.
Undang-Undang
No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diharapkan mampu memberikan
perlindungan konsumen belum berfungsi secara optimal. Pemerintah selaku penentu
kebijakan, perumus, pelaksana sekaligus pengawas atas jalannya peraturan yang
telah dibuat sepertinya masih kurang serius dalam menjalankan kewajibannya.
Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang
kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.
Di sisi lain,
faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi
adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya serta respon
konkrit atas perlindungan konsumen yang belum memuaskan. Konsumen perlu
menyadari bahwa barang dan jasa yang dibeli harus sesuai dengan standar yang
dijanjikan oleh produsen melalui standar nasional Indonesia (SNI).
Permasalahan
Perlindungan Konsumen
Selain itu
untuk barang yang dikonsumsi dalam ukuran tertentu, konsumenpun harus memahami
bahwa alat ukur yang digunakan telah dijamin dan dilindungi oleh pemerintah
melalui tera yang dilakukan secara benar dan berkala. Hak-hak ini yang perlu
disadari oleh konsumen, terlebih lagi akan menjadi kompleks apabila transaksi
yang dilakukan melibatkan pedagang yang berada diluar negara dan lembaga
keuangan yang terlibatpun tidak ada di Indonesia.
Kondisi ini
direspon melalui perubahan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan
konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara
efektif di masyarakat dengan mengatisipasi perkembangan transaksi yang semakin
meluas dan menembus batas antar negara. Piranti hukum yang melindungi konsumen
tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru
sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang
mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui
penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Sejalan dengan Strategi
Nasional Perlindungan Konsumen (Stranas PK), terdapat sembilan sektor prioritas
yang perlu diberikan perlindungan, yaitu perumahan, listrik dan gas, obat dan
pangan, e-Commerce, jasa keuangan, telekomunikasi, transportasi, layanan
kesehatan dan barang elektronik, telematika dan kendaraan bermotor.
Dalam kontruksi
kelembagaan, apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dapat
diselesaikan di dalam dan di luar pengadilan. Di luar pengadilan dapat
dilakukan di BPSK atau pada Small Claim Court (SCC). BPKN mengkritisi kebijakan
pemerintah terkait dengan perlindungan konsumen dengan output saran dan
pertimbangan kepada pemerintah.
Sementara itu
masyarakat dapat berperan dalam mendorong terbentuknya perlindungan konsumen
berupa adanya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) yang
berfungsi untuk mendampingi konsumen dalam memperjuangkan haknya. Terkait
dengan hal ini, hak dan kewajiban Pelaku Usaha tercantum dalam pasal 5 sampai 7
pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan perbuatan yang dilarang
bagi pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 8 sampai pasal 18.
Seiring dengan
semakin tingginya pemanfaatan fintech (financial technology) oleh konsumen
termasuk konsumen mancanegara di indonesia, lalu lintas data elektronik transaksi
perlu segera memperoleh pengaturan yang memadai. Konsumen memerlukan
perlindungan secara lebih luas dan komprehensif terkait dengan adanya
transaksi-transaksi yang dilakukan secara online serta akses terhadap pemulihan
hak konsumen. Lebih luas lagi adalah bahwa dalam ekonomi digital, perlindungan
konsumen bukan semata-mata hanya sebatas pada e-commerce. Kemasa depan, hal
yang terkait dengan ekonomi digital adalah terkait dengan perpaduan Big data,
Connectivity, dan Artificial Intelligent.
Terkait dengan
perwujudan perlindungan konsumen di era digital, maka perlu sebuah perwujudan
integritas perlindungan konsumen secara komprehensif. Integritas Perlindungan
Konsumen hanya dapat terwujud bila RUU Perlindungan Konsumen disusun mampu
mengakomodir sebesar- dinamika transaksi, secara berkeadilan dan kontruktif,
termasuk dinamika transaksi berbasis ekonomi digital.
Selama ini,
justru lembaga non-pemerintah yang terkristalisasi membentuk kesadaran dalam
perlindungan konsumen. Hal ini sebagai respon atas maraknya permasalahan
perlindungan konsumen yang tidak terkanalisasi secara baik. Pemerintah
hendaknya mendorong peran lembaga ini dan melibatkan dalam mewujudkan
perlindungan konsumen secara komprehensif dalam tataran regulasi maupun tataran
praktis.
Integritas
Perlindungan Konsumen hanya dapat terwujud bila RUU Perlindungan Konsumen
disusun mampu mengakomodir sebesar- dinamika transaksi, secara berkeadilan dan
kontruktif, termasuk dinamika transaksi berbasis ekonomi digital. Beberapa hal
yang terkait dengan perlindungan konsumen dan pemulihan hak konsumen selain
undang-undang perlindungan konsumen, diantaranya adalah Sisterm Transaksi
Elektronik, TPMSE (Transaksi Melalui Sisterm Transaksi Elektronik), PDP
(Perlindungan Data Pribadi), Pengaturan dan implementasi 12 agenda Fintech
IMF/World Bank Bali dan juga diperlukan Kebijakan Roadmap e-Commerce.