Nabila Aulia Rahma
Mahasiswa FEB Uhamka
Bukan hal aneh sebagai perempuan mendengar ucapan ekspetasi sosial yang berlebihan terhadapnya. Mulai dari cara berpikir, cara berpakaian, usia menikah dan lain sebagainya. Mungkin situasi akan berbeda untuk setiap perempuan, tergantung lingkungan dan keluarganya, tetapi tidak dapat dipungkiri secara umum tekanan sosial terhadap perempuan tetaplah sama contohnya seperti ini:
”Perempuan tidak usah memiliki karir tinggi, toh akhirnya akan melahirkan dan repot mengurus anak”,
”Berpakaianlah yang sopan jangan sampai dibilang perempuan penggoda”
“Perempuan tidak pantas nikah diumur lebih dari 20-an”
“Perempuan tidak mampu melakukan hal ini, dia adalah makhluk lemah”
Menanggapi tentang stigma ”Perempuan tidak usah memiliki karir tinggi, toh akhirnya akan melahirkan dan repot mengurus anak”, menurut saya bukan hanya perempuan saja yang seharusnya memiliki tanggung jawab tentang melahirkan dan mengurus seorang anak Tetapi laki-laki sebagai suami seharusnya juga mengambil peran tentang membantu istirinya ketika melahirkan dan juga mengurus anaknya. Justru peran laki-laki sangat penting dalam proses merawat anak. Seharusnya lelaki dan perempuan bisa bekerja sama. Tidak serta merta urusan tersebut dijadikan stigma dengan menyangkut pautkan kodrat perempuan haruslah begini dan begitu.
Kalimat-kalimat di atas yang sudah saya tuliskan merupakan beberapa contoh dari stigma yang diberikan masyarakat terhadap perempuan. Meskipun banyak sosok-sosok dan komunitas-komunitas yang melakukan gerakan atau gebrakan dari dulu hingga sekarang, saya rasa tekanan dan ekspetasi sosial itu selalu ada dan tidak pernah hilang. Memang bagaimana pun mengubah pola pikir masyarakat secara luas jelas bukan hal mudah apalagi kalau sudah diikuti dengan keyakinan-keyakinan mengenai “kodrat perempuan”.
Mungkin kita tidak bisa melakukan hal besar dan menggiring pasukan untuk membuat gerakan feminisme dan mengubah pola pikir masyarakat tentang stigma-stigmanya. Tetapi kita perempuan pasti sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjadikan dirinya sendiri tanpa harus mengorbankan peran biologis. Pemahaman bahwa perempuan memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama dengan laki-laki harus ditanamkan dipikiran kita. Jika penanaman moral tersebut terlambat, maka sampai dewasa kita akan berpikir bahwa perempuan memang memiliki drajat yang berbeda dengan laki-laki.