Sugeng mengungkapkan
mindset seperti itu masih banyak ditemui di Kota Bengawan. Hal ini
secara tidak langsung akan berdampak pada kemajuan dan mutu pendidikan.
Padahal, pendidikan yang benar harus ada sinergi kuat antara sekolahan, guru,
termasuk ortu siswa.
“Kadang orang
tua berpikir sudah bayar ke sekolah. Jadi pendidikan semua diserahkan ke
sekolah. Tapi kalau anaknya salah atau nakal, tidak boleh dicubit atau
dimarahi,” ujar Sugeng.
Kondisi ini menjadi
salah satu tantangan bagi dunia pendidikan saat ini. Guru dituntut mampu memberikan pembelajaran
yang maksimal bagi siswa. Di sisi lain, ortu tidak memberikan kontribusi dalam
meningkatkan pembelajaran di sekolah.
“Orang tua
menuntut anaknya harus pintar. Harus berkembang tanpa mau tahu bagaimana
prosesnya. Ini yang perlu disadarkan lewat bantuan sekolah. Sekolah bisa
memberikan pemahaman tersebut kepada orang tua siswa,” tutur Sugeng.
Sugeng menyebut
pada prinsipnya peran ortu paling utama. Jangan sampai terbalik, seolah sekolah
yang memegang peran utama. Sehingga ortu lepas tangan ketika sudah memasukkan
anaknya ke sekolah.
“Pembentukan paguyuban orang tua harus kembali dihidupkan. Paguyuban ini bukan hanya membahas sumbangan atau yang berkaitan dengan masalah iuran. Namun, bagaimana orang tua ikut serta memajukan pendidikan anak di sekolah maupun di rumah,” ujarnya.
Dirinya juga
berpendapat, jika sekolah sudah memenuhi kebutuhan anak, ortu tinggal memberi
kepercayaan penuh. Sebaliknya jika sekolah dianggap belum memadai, ortu harus
ikut melengkapinya. Bila perlu ortu ikut mengambil peran utama dalam pengajaran materi akademik.
“Kolaborasi ini
jika diterapkan di semua sekolah di Solo, pendidikan akan jauh lebih baik.
Sudah seharusnya mindset masyarakat, yang menyerahkan semua
tanggung jawab pendidikan anak ke sekolah itu dihilangkan,”
tegasnya.
DYL_RPH